Info Terbaru 2022

Penjelasan Lengkap Sholawat Nariyah, Apa Dan Siapa Pengarangnya

Penjelasan Lengkap Sholawat Nariyah, Apa Dan Siapa Pengarangnya
Penjelasan Lengkap Sholawat Nariyah, Apa Dan Siapa Pengarangnya
Sholawat Nariyah yaitu salah satu sholawat yang terkenal di kalangan umat Islam, meski keberadaannya memuat banyak kontroversi. Pada potongan lain blog ini sudah pernah disajikan goresan pena perihal Sholawat Nariyah ini. Ada banyak kontroversi pada goresan pena tersebut, termasuk perihal pengarangnya yang disebut sebagai Syeh Nariyah.

Nah, pada kesempatan ini akan kami sampaikan satu pembahasan panjang perihal sholawat Nariyah ini yang disalin dari situs nu online sebagai berikut.

 yaitu salah satu sholawat yang terkenal di kalangan umat Islam Penjelasan Lengkap Sholawat Nariyah, Apa dan Siapa Pengarangnya


Sebagian kalangan mempertanyakan dan bahkan menuding tak berdasarnya Shalawat Nariyah yang akan dibacakan warga NU pada malam peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober mendatang. Pokok persolannya, berdasarkan mereka yaitu tidak diketahui pengarangnya.

Dewan Pakar Aswaja NU Center Jawa Timur KH Ma’ruf Khozin mengatakan, kalau beralasan lantaran ketidakjelasan siapa pengarangnya, maka Mufti Mesir, Syaikh Ali Jumah yang digelari Allamah Ad-Dunya, menerima sanad yang tepat dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar.

Syaikh Abdullah al-Ghummar, berdasarkan Ma’ruf, yaitu spesialis hadits dari Maroko, yang hingga kepada muallif (pengarang) Shalawat Nariyah Syaikh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko).

“Kesemuanya secara musyafahah, memberikan bacaan shalawat tersebut dari guru kepada muridnya secara langsung,” katanya kepada NU Online melalui surat elektronik, Rabu (28/9).

Sementara nama Shalawat Nariyah, ada kalangan alergi dengan ‘nar’ yang memang terkenal dengan sebutan Nariyah. Sebagian orang menganggap bahwa makna ‘nar’ yaitu neraka, ‘iyah’ yaitu pengikut, yang disimpulkan‘pengamal nariyah’ yaitu pengikut hebat neraka.

Maka, hal itu sangat tidak tepat. Perhatikan dalam Al-Qur’an berikut ini:

إِذْ رَأَىٰ نَارًا فَقَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِقَبَسٍ أَوْ أَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى

“Ketika ia (Musa) melihat api, kemudian berkatalah ia kepada keluarganya: "Tinggallah kau (di sini), sesungguhnya saya melihat api, mudah-mudahan saya sanggup membawa sedikit daripadanya kepadamu atau saya akan menerima petunjuk di daerah api itu". (Thaha: 10)

Menurut Syaikh Abdullah al-Ghummari, penamaan dengan Nariyah lantaran terjadi tashif atau perubahan dari kata yang bergotong-royong taziyah. Sebab keduanya mempunyai kemiripan dalam goresan pena Arab, yaitu النارية dan التازية yang berbeda pada titik huruf. Di Maroko sendiri shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya.

Sementara dalam kitab Khazinatul Asrar, sebuah kitab yang banyak memuat ilmu tasawuf dan tarekat karya Syaikh Muhammad Haqqi Afandi An-Nazili, disebutkan bahwa Syaikh Al-Qurthubi menamai shalawat ini dengan nama Shalawat Tafrijiyah, yang diambil dari teks yang terdapat di dalamnya yaitu (تنفرج).

Demikian halnya Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani menyebut dengan nama shalawat At-Tafrijiyah dalam kitabnya Afdlal ash-Shalawat ala Sayidi as-Sadat pada urutan ke 63.

“Semua syubhat (propaganda) dalam shalawat Nariyah telah kita ketahui dalilnya sehingga boleh kita amalkan. Akan tetapi, kalau penolakannya, keengganannya dan keberatannya lantaran kebencian kepada kami para santri, maka tak cukup 1000 dalil untuk memuaskan dahaga kebenciannya,” pungkas anggota LBM PWNU Jatim ini.

Penjelasan Sholawat Nariyah I

PBNU akan menggelar ragam acara untuk memperingati Hari Santri Nasional, diantaranya Kirab Resolusi Jihad NU dan pembacaan 1 Miliar Shalawat Nariyah. Kegiatan terakhir sebagian pihak ‘menggugat’ lantaran mengandung unsur syirik. Mereka menuding shalawat tersebut bukan berasal dari Nabi, dan sebagainya.

Menurut Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Ma’ruf Khozin, di antara somasi tersebut yaitu penggunaan kata “Sayidina Muhammad”.

“Kalau yang dipermasalahkan lantaran dalam shalawat Nariyah ada Sayidina, maka menyebut Rasulullah dengan sayid pun sudah disampaikan oleh Sahabat dengan sanad yang sahih,” kata anggota LBM PWNU Jatim kepada NU Online Rabu (28/9).

Hadits tersebut, berdasarkan Kiai Ma’ruf adalah, “Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, agar Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka Alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221).

Jadi, Shalawat Nariyah yang terdapat kata Sayidina tersebut, berdasarkan hadits tersebut telah dilakukan oleh sahabat Nabi.

Penjelasan Sholawat Nariyah II

Sebagian kalangan membaca menuding Shalawat Nariyah sebagai perbuatan bid’ah lantaran bukan dari Rasulullah langsung. Menanggapi tudingan itu Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Ma’ruf Khozin mengatakan, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibn Taimiyah telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf.

Hal itu, menurutnya kepada NU Online Rabu (28/9) terdapat dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.

“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, epilog seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di daerah terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir” (Jala’ al-Afham 36)

Shalawat ‘Alqamah al-Nakha’i, seorang tabi’in :

صَلىَّ اللهُ وَمَلاَئكِتُهُ عَلىَ مُحَمَّدٍ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham 75)

Shalawat Imam Syafi’i sebagai berikut:

صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَعَدَدَ مَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ.

“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya” (Jala’ al-Afham 230)

Demikian, kata Kiai Ma’ruf, beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam.

“Hal tersebut kemudian dilanjutkan para ulama untuk menyusun bermacam-macam redaksi shalawat, sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain,” pungkasnya.

Penjelasan Sholawat Nariyah III

Shalawat Nariyah ditolak sebagian kalangan lantaran mengandung unsur tawassul. Menjawab tudingan tersebut, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Maruf Khozin mengatakan, berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya, (HR At-Tirmidzi).

Lalu, lanjut Kiai Maruf, oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk dilema yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).

“Dari sini banyak para ulama beropini bahwa bertawassul dengan Nabi yaitu diperbolehkan,” katanya kepada NU Online Rabu (28/9).

Kiai Ma’ruf menyebutkan pendapat para ulama yang memperbolehkan tawasul tersebut: 

أَوَّلُهَا : أَنْيَسْأَلَاللّهَبِالْمُتَوَسَّلِبِهِتَفْرِيْجَالْكُرْبَةِ،وَلَايَسْأَلَالْمُتَوَسَّلَبِهِشَيْئاً،كَقَوْلِالْقَائِلِ : اللَّهُمَّبِجَاهِرَسُوْلِكَفَرِّجْكُرْبَتِي . وَهُوَعَلَىهَذَاسَائِلٌللّهِوَحْدَهُ،وَمُسْتَغِيْثٌبِهِ،وَلَيْسَمُسْتَغِيْثاًبِالْمُتَوَسَّلِبِهِ . وَقَدِاتَّفَقَالْفُقَهَاءُعَلَىأَنَّهَذِهِالصُّوْرَةَلَيْسَتْشِرْكاً،لِأَنَّهَااسْتِغَاثَةٌبِاللّهِتَبَارَكَوَتَعَالَى،وَلَيْسَتْاسْتِغَاثَةًبِالْمُتَوَسَّلِبِهِ؛وَلَكِنَّهُمْاخْتَلَفُوْافِيالْمَسْأَلَةِمِنْحَيْثُالْحِلُّوَالْحُرْمَةُعَلَىثَلَاثَةِأَقْوَالٍ : الْقَوْلُالْأَوَّلُ : جَوَازُالتَّوَسُّلِبِالْأَنْبِيَاءِوَالصَّالِحِيْنَحَالَحَيَاتِهِمْوَبَعْدَمَمَاتِهِمْ . قَالَبِهِمَالِكٌ،وَالسُّبْكِيّ،وَالْكَرْمَانِيّ،وَالنَّوَوِيّ،وَالْقَسْطَلاَّنيّ،وَالسُّمْهُوْدِيّ،وَابْنُالْحَاجِّ،وَابْنُالْجَزَرِيّ .(الموسوعةالفقهيةالكويتية - ج 5 / ص 22)

Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama yaitu meminta kepada Allah dengan mediator (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada mediator suatu apa pun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”. Dalam dilema ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara.

Ulama fikih setuju bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik, alasannya yaitu hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat perihal boleh atau tidaknya, menjadi 3 pendapat. Pendapat pertama yaitu boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik dikala mereka hidup atau setelah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).


“Sementara yang melarang tawassul yaitu Syaikh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja,” pungkasnya. 

Demikian klarifikasi panjang lebar perihal Sholawat Nariyah, agar bermanfaat,
Advertisement

Iklan Sidebar